MAKALAH KEWARGANEGARAAN
FENOMENA LEMBAGA KEUANGAN MIKRO DALAM
PERSPEKTIF PEMBANGUNAN EKONOMI PERDESAAN
KATA PENGANTAR
Makalah ini kami susun dengan segala kemampuan kami dan semaksimal mungkin. Namun kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini tentu tidaklah sempurna dan masih banyak kesalahan serta kekurangan. Maka dari itu kami sebagai penyusun makalah ini mohon kritik, saran dan kesan dari semua yang membaca makalah ini terutama dosen mata kuliah kewarganegaraan yang kami harapkan sebagai pengoreksi untuk kami.
Akhirnya kami sampaikan terima kasih atas perhatiannya terhadap makalah ini, dan penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi kami sendiri dan khususnya pembaca.
Sampit, April 2018
Penyusun
Daftar Isi
Judul Halaman ........................................................................................................................ 1
Kata Pegantar .......................................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................................ 4
B. Rumusan Masalah ....................................................................................................... 4
C. Tujuan ......................................................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN
A. Eksistensi Lembaga Keuangan Mikro ........................................................................ 5
1. Historis Pembentukan LKM .................................................................................. 5
2. Dimensi Organisasi LKM ...................................................................................... 5
3. Skim Perkreditan LKM .......................................................................................... 5
4. Faktor Kritis Pengelolaan LKM ............................................................................. 6
5. Dukungan Sumberdaya Manusia Pengelola LKM ................................................. 6
6. Landasan Hukum Operasional LKM ..................................................................... 7
B. Persepsi dan Apresiasi Petani/Nasabah ...................................................................... 7
1. Dukungan Permodalan LKM (Seed capital) .......................................................... 8
2. Perspektif LKM dalam Pembangunan Ekonomi Perdesaan ................................ 8
3. Langkah Strategis Inisiasi LKM ............................................................................ 9
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................................. 12
B. Saran ........................................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 13
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tumbuh dan berkembangnya LKM (Lembaga Keuangan Mikro) di Indonesia tidak terlepas dari dinamika pembangunan ekonomi serta pengaruh faktor luar. Salah satu pendorong yang mengilhami perkembangan LKM di Indonesia, adalah keberhasilan Muhammad Yunus dalam mengembangkan LKM di Banglades yang terkenal dengan Grameen Bank (GB). Model GB banyak di lihat orang sebagai suatu model pendekatan yang sukses dalam pengentasan kemiskinan dan peningkatan peran perempuan, sehingga banyak pihak yang mereplikasi metode GB tersebut (Anonim, 2007). Pengelolaan Lembaga Keuangan Mikro sudah berkembang sejak lama dan telah menjadi topik pembicaraan para pakar dan praktisi ekonomi kerakyatan seperti antara lain Martowijoyo (2002), Sumodiningrat (2003), Budiantoro (2003), Ismawan (2002), Syukur (2002) dan lain-lain dalam momentum penanggulangan kemiskinan. Menurut Wijono (2005), LKM sudah banyak dibentuk dan tersebar mulai dari perkotaan sampai perdesaan, atas prakarsa pemerintah, swasta maupun kalangan lembaga swadaya masyarakat dalam bentuknya yang formal, non formal, sampai informal dengan karakteristiknya masing-masing. Meskipun karakteristik LKM beragam, namun fungsinya sama sebagai intermediasi dalam aktivitas suatu perekonomian.
B. Rumusan Masalah
1. Bagimanakah historis pembentukan LKM
2. Bagaimanakah Eksistensi Lembaga Keuangan Mikro
3. Bagaimana Persepsi dan Apresiasi Petani/Nasabah
C. Tujuan
1. Mengetahui historis dari pembentukan LKM
2. Mengetahui bagaimana eksistensi LKM
3. Mengetahui bagaimana persepsi dan apresiasi dari petani/nasabah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Eksistensi Lembaga Keuangan Mikro
1. Historis Pembentukan LKM
Secara historis, LKM di lokasi pengkajian ada yang sudah berdiri semenjak tahun1971 tetapi ada juga yang berdiri baru setahun lalu (2006). Menurut latar belakang pendiriannya secara global dibedakan oleh dua kondisi yakni berdiri atas inisiatif warga dan inisiatif pihak luar. Inisiatif warga selain didasarkan pada kebutuhan untuk mendukung kegiatan usaha ekonominya, juga adanya keperluan untuk fasilitasi penerimaan bantuan pihak luar. Sedangkan inisiatif dari pihak luar muncul karena berbagai alasan, diantaranya sebagai pengembangan usaha, dan keperluan mensukseskan program pembangunan yang belum tentu dibutuhkan warga setempat. Dalam hal ini LKM Bank pembinaan operasionalnya berada di bawah Bank Indonesia, sedangkan LKM bukan Bank berada di luar pembinaan Bank Indonesia.
2. Dimensi Organisasi LKM
LKM sebagai sebuah organisasi memiliki dua dimensi utama yakni dimensi struktural dan kontekstual. Menurut Sobirin, (2007) dimensi struktural ditunjukkan oleh formalitas organisasi, spesialisasi dalam pencapaian sasaran, standarisasi kerja, hirarhi organisasi, kompleksitas organisasi, sentralisasi pengambilan keputusan, dukungan profesionalime pengurus dan rasio personil pendukung struktur organisasinya. Sedangkan dimensi kontekstual, dilihat dari ukuran atau besarnya organisasi, teknologi yang digunakan, lingkungan organisasi dan tujuan dan strategi organisasi. LKM yang memiliki dimensi struktural tinggi, sudah memiliki dukungan fasilitas fisiksebagai sarana kegiatan yang memadai, sedangkan LKM yang dimensi strukturalnya sedang dan rendah umumnya belum didukung fasilitas fisik, sehingga keberadaannya tidak segera dapat dikenali orang luar.
Skim perkreditan adalah unsur paling substansial dalam pengelolaan LKM karena dapat menjadi faktor determinan atau penentu keberlanjutan dan perkembangan LKM. Skim perkreditan merupakan bagian dari pasar kredit yang penerapannya berhubungan dengan segmentasi pasar kredit.
Ditinjau dari sasaran nasabah, masing-masing LKM melayani segmen nasabah tertentu. Hasil observasi di lapangan terungkap 10 unit LKM dari 14 LKM contoh memiliki saranan Sepenuhnya untuk mendukung kegiatan pertanian, dan selebihnya yang 4 unit LKM lainnya Yakni BRI Unit di Sulsel, KSU Karya Terpadu di NTB, BMT Jamiah di Jatim dan BUKP di DIY sasarannya tidak sepenuhnya petani akan tetapi juga mencakup kegiatan ekonomi di luar pertanian. Persyaratan peminjaman juga bervariasi, namun secara garis besar dapat dikelompokkan pada tiga pola yakni pola bank konvensional, pola koperasi, pola bukan bank bukan koperasi. Mekanisme pengembalian pinjaman keragamannya terletak pada tata caranya yang dapat dilakukan langsung oleh individu peminjam kepada LKM, dan melalui kelompok tani. Sementara itu keragaman skim lainnya terungkap pula dari besarnya bunga. Dalam hal ini kecuali yang diberlakukan LKM Bank dan BMT, besarnya bunga tidak memiliki angka yang standar. Masing-masing menetapkan besaran bunga sesuai kesepakatan diantara pengurus LKM dengan nasabah. Dari sisi lamanya jangka waktu pinjaman keragaman yang terjadi lebih dipengaruhi oleh besarnya pinjaman. Pada LKM Bank, besarnya pinjaman tergantung pada kemampuan penjaminan.
Jika ditinjau dari jenis pasar kreditnya terbagi pada pasar kredit formal (program dan non program) dan pasar kredit non formal. Dari 14 LKM contoh, terdapat satu LKM yang menjalankan skimnya berdasarkan pada pola pasar kredit formal yang non program yaitu LKM di Sulsel. LKM yang menjalankan pasar kredit formal dengan status program dijalankan oleh UPPKP, PUKK, dan Kelompok tani di Sleman. Selebihnya bersifat pasar kredit non formal. Dari kondisi skim LKM di lokasi pengkajian, dapat ditarik suatu kesimpulan sementara bahwa jaminan keberlanjutan dari sisi viabilitas finansial melalui penerapan skim hanya terlihat pada LKM pola Bank dan pola koperasi.
Faktor kritis pengelolaan LKM pada intinya terletak pada unsur-unsur sumber daya manusia, landasan hukum operasional LKM dan Seed capital.
Pengelolaan LKM perlu ditangani secara profesional karena menyangkut spesialisasi pengelolaan keuangan yang rumit. Bagi LKM Bank, unsur SDM pengelola sudah memiliki kualifikasi standar. Tetapi pada LKM Koperasi dan B3K hampir sebagian besar belum memiliki ketentuan standar yang baku. Kepengurusan LKM lebih banyak didasarkan pada kewibawaan figur individu. Kondisi demikian sangat riskan ketika harus menghadapi kompetisi sehubungan dengan terjadinya perkembangan ekonomi ke depan.
Kegiatan pengelolaan dana masyarakat melalui LKM harus mendapatkan jaminan hukum dan secara nasional undang-undang tentang LKM sedang diupayakan. Ketiadaan payung hukum tersebut membatasi ruang gerak usaha pengembangan LKM karena terbatas oleh ketentuan dalam UU no 10/1998 Tentang Perbankan. Dasar hukumnya mengacu ada UU No 10/1998; LKM Koperasi mengacu UU No 12 tentang Perkoperasian yang implementasinya difasilitasi melalui Kantor Koperasi di masing-masing wilayah kerja LKM dalam Bentuk Badan Hukum (BH). Semua LKM Koperasi yang menjadi contoh dalam pengkajian sudah memiliki nomor BH Koperasi. Bagi LKM dengan pola B3K, legalisasinya tergantung pada institusi yang memprakarsai tumbuhnya LKM tersebut. Legalisasinya ada yang berupa SK Bupati, SK BPTP dan lainnya. Namun ada tiga LKM contoh yang belum jelas legalisasinya yakni LKM Amanah di Sulsel, Kelompok Tani Karya Harum di NTB dan Kelompok Tani Cangkringan di DIY.
B. Persepsi dan Apresiasi Petani/Nasabah
Melalui pendekatan analisis dominasi terhadap unsur-unsur skim kredit (10 unsur) yang diajukan kepada nasabah, ada 8 unsur yang dipertimbangkan. Unsur-unsur tersebut ditampilkan secara berurutan seperti:
a. Prosedur pengajuan pinjaman kredit
b. Peryaratan pengajuan pinjaman yang ditetapkan LKMc. Besarnya volume pinjaman yang dapat diajukan dan disetujui
d. Besarnya tingkat bunga per tahun
e. Kecepatan waktu Pencairan pinjaman sejak pengajuan proposal/ permohonan
f. Kesesuaian waktu pembayaran kembali pinjaman dengan panen
g. Sikap petugas dalam melayani nasabah
h. Besarnya agunan yang harus disediakan ketika mengajukan pinjaman.
Hasil analisis tersebut menguatkan hipotesa umum bahwa keengganan masyarakat berpartisipasi terhadap lembaga keuangan bukan karena besarnya tingkat bunga, akan tetapi pada kerumitan prosedur. Solusi penjaminan bagi nasabah LKM adalah garansi kelompok tani. Di UPPKP, dipersyaratkan kepada kelompok yang akan mengajukan kredit untuk terlebih dahulu mendapat registrasi di Dinas Pertanian.
1. Dukungan Permodalan LKM (Seed capital)
Seed capital yang dimaksud adalah modal usaha untuk mendukung kegiatan LKM. Sebagai sumber modal awal bisa memanfaatkan berbagai sumber dana, antara lain dana CSR (Capital Sosial Responsibility) yang ada di tiap perusahaan swasta melalui pembentukan jalinan program (linkage programe), dana penguatan modal kelompok, dana bantuan langsung tunai (BLT), dana bantuan langsung masyarakat (BLM), dll yang tersedia di Departemen Teknis atau Departemen Sosial. Capital yang berasal dari sumber-sumber di atas biasanya tidak ada pembebanan bunga, terlebih yang berasal dari Departemen Teknis (misalnya Departemen Pertanian) yang merupakan penguatan modal bagi kelompok tani.
Keberhasilan pengelolaan LKM banyak dipengaruhi berbagai faktor meliputi kekuatan dan kelemahan internal serta peluang dan ancaman eksternal. Berkenaan dengan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja pengelolaan LKM tersebut, perspektif pengembangannya akan sangat tergantung pada kemampuan LKM memaksimalkan kekuatan dan peluang ada serta meminimalkan unsur kelemahan dan menekan ancaman yang muncul. Melalui analisis SWOT diperoleh gambaran darikondisi LKM di lokasi pengkajian sebagai berikut:
Kekuatan LKM:
a. Akses masyarakat tani untuk mendapatkan pinjaman dana bagi modal tambahan sangat tinggi, karena persyaratannya relatif tidakberat dan tanpa agunan. Prosedur pengajuan pinjaman relatif sederhana, sehingga memudahkan calon nasabah untuk mengakses pinjaman ke LKM.
b. Bunga pinjaman relatif rendah dibandingkan bunga bank konvensional.
c. Lokasi LKM umumnya dekat dengan lokasi usatani, sehingga terhindar dari biaya transportasi. Kalaupun lokasinya jauh, biasanya petugas LKM yang datang ke tempat tinggal calon nasabah untuk memproses pinjaman.
d. Tidak ada beban agunan yang dipersyaratkan untuk mengajukan pinjaman, sehingga dapat menjangkau semua lapisan masyarakat tani yang tidak memiliki agunan.
a. Pengelolaan LKM umumnya masih konven- sional karena rekrutiment pengelola LKM tidak didasarkan pada kualifikasi kapabilitas yang standar.
b. Pagu kredit yang dapat diberikan LKM relatif lebih kecil dibandingkan dengan pagu kredit dari lembaga perbankan formal, sehingga tambahan modal yang diajukan sering tidak terpenuhi seluruhnya. Kecilnya kemampuan memberikan pinjaman disebabkan karena umumnya LKM menghadapi kendala permodalan (seed capital).
c. Nasabah dari sektor pertanian, waktu pembayarannya disesuaikan dengan waktu panen, sehingga dari sisi keuangan berpengaruh pada “turn over” pengelolaan keuangan LKM.
d. Karena tidak dipersyaratkan adanya agunan, sebagai gantinya LKM mensyaratkan calon nasabah masuk anggota kelompok. Artinya bagi calon nasabah yang di luar anggota tidak memiliki peluang memperoleh layanan LKM.
Peluang Pengembangan:
a. Jumlah masyarakat tani di perdesaan yang membutuhkan tambahan modal usaha relatif banyak, dan mereka tidak akses ke lembaga keuangan formal (perbankan konvensional) sehingga pilihan mereka berpeluang mengarah ke LKM
b. Tingkat pengembalian dari nasabah petanirelatif lebih lancar. NPL (Non Performing Loan) masih di bawah angka toleransi
Ancaman:
a. Dasar hukum pengelolaan LKM beragam, dan terkadang tidak mengacu pada UU No10/1998 tentang Perbankan
b. Ragam LKM di lingkungan masyarakat diperkotaan maupun perdesaan relatif banyak, sehingga dalam pemasaranya sangat ketat.
Strategi utama untuk memprakarsai pembentukan dan pengembangan LKM di lokasi usaha tani yang potensial, disarankan untuk dilakukan melalui tahap-tahap sebagai berikut:
a. Melakukan Penjajagan Lokasi dan Pemetaan Kebutuhan
b. Melakukan pendekatan kelompok/gabungan kelompok
c. Seleksi calon pembentukan LKM
d. Sosialisasi LKM
e. Pembentukan Organisasi LKM
f. Fasilitasi dan Penguatan Modal
g. Pelatihan bagi pengurus
h. Operasionalisasi/memasarkan LKM
i. Pendampingan dan Pembinaan
j. Monitoring dan evaluasi
k. Mengoptimalkan perceived value.
l. Penjajagan Lokasi dan Pemetaan Kebutuhan.
Pada dasarnya LKM hanya layak ditumbuh kembangkan pada lokasi produksi yang potensial dan masyarakatnya membutuhkan bantuan permodalan, sementara di daerah itu belum ada satupun lembaga jasa pelayanan modal bagi masyarakat tani. Kegiatan LKM ditujukan kepada pengurus dan anggota kelompok guna memberikan pengetahuan tentang seluk beluk LKM. Dalam sosialisasi disampaikan informasi yang lengkap, jelas dan transparan tentang LKM memenuhi prinsip-prinsip 4W 1 H (what, why, where, when, who, How). Pembentukan organisasi LKM diawali dengan rekruitmen pengurus inti yang terdiri dari manajer, asisten administrasi dan teknik operasional. Kemudian rekruitmen staf pendukung dilakukan melalui kualifikasi tertentu. Pemilihan pengurus dilakukan secara partisipatif dan demokratis. Untuk mendukung langkah awal operasional LKM diperlukan dukungan fasilitasi organisasi yang normatif bagi sebuah organisasi, utamanya modal awal.
Sebagai sumber modal awal bisa memanfaatkan berbagai sumber dana, antara lain dana CSR (Capital Sosial responsibility) yang ada di tiap perusahaan swasta melalui pembentukan jalinan program (linkage programe), dana penguatan modal kelompok, dana bantuan langsung tunai (BLT), dana bantuan langsung masyarakat (BLM), dll yang tersedia di Departemen Teknis atau Departemen Sosial. Pengurus LKM harus mampu melakukan pengelolaan dana dengan cara yang standar. Untuk itu Kegiatan pelatihan bagi pengurus menjadi hal yang sangat krusial. Melakukan pelatihan bagi Pengurus LKM untuk meningkatkan kapabilitas pengurus dalam mengelola LKM, dan melaku- kan pembinaan usaha kepada nasabah agarusahanya memberikan nilai tambah yang tinggi. Tugas memasarkan LKM dalam prakteknya dapat disinerjikan dengan kegiatan pendampingan dan pembinaan kegiatan, sehingga selain tercapai prinsip efisien juga efektifitasnya terpenuhi. Guna menjamin terlaksananya LKM sesuai dengan harapan, diperlukan pendampingan yang intensif. Pendampingan tidak saja dilakukan kepada SDM pengelola LKM akan tetapi juga kepada nasabah. Pendampingan kepada pengelola LKM dimaksudkan agar kemampuannya mengelola dana LKM memenuhi standar akuntasi sedangkan pendampingan terhadap nasabah ditujukan agar nasabah mampu memanfaatkan dana pinjamannya secara efisien dan efektif.
Kegiatan monitoring dan evaluasi dilakukan untuk mengetahui perkembangan LKM dan permasalahan yang merupakan hambatan serta upaya pemecahannya, sehingga upaya penumbuhan dan pengembangan LKM berjalan sesuai dengan rencana. Upaya melakukan optimalisasi perceived value ditujukan pada kondisi dimana sudah ada LKM tetapi akses petani terhadap LKM terkendala. Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa indikator keberhasilan LKM harus dilihat dari dua sudut pandang yakni sudut pandang petani sebagai pengguna jasa keuangan dan sudut pandang LKM sebagai lembaga penyedia jasa keuangan. Dari sudut pandang petani LKM diharapkan untuk meningkatkan keuntungan usaha taninya, sedangkan dari sudut pandang LKM (value proposition) semua yang ditawarkan oleh LKM (penyedia jasa keuangan) dapat memenuhi kebutuhan petani dalam upaya meningkatkan keuntungan usahataninya. Dalam tataran praktis, upaya mengoptimalkan perceived value dapat ditempuh melalui intensifikasi kegiatan pendampingan dan pembinaan terhadap LKM dan masyarakat tani calon nasabah. Pendampingan, mempunyai peran sangat penting bagi berhasil dan berkembangnya LKM. Melakukan pendampingan dan asistensi terhadap kegiatan kelompok dalam melakukan pelayanan jasa keuangan, termasuk dalam administrasi pengelolaan dana. Melakukan pendampingan dan asistensi terhadap kegiatan kelompok dalam melakukan pelayanan jasa keuangan, termasuk dalam administrasi pengelolaan dana.
Sementara itu pembinaan dimaksudkan sebagai upaya untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penumbuhan dan pengembangan LKM, disamping meningkatkan motivasi dan kemampuan pelaksanaan dilapangan serta kapasitas manajemen pengelola LKM. Mendorong kegiatan kelompok ke arah kegiatan pengelolaan LKM yang berkelanjutan (sustainabel). LKM harus terus berjalan meskipun keterlibatan lembaga atau aparat pemerintah dan swasta secara langsung telah berkurang.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
LKM masih berpeluang untuk dapat dijadikan salah satu instrumen kebijakan pe- merintah dalam upaya meningkatkan produktivitas pertanian menuju peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani. SKIM LKM yang berpeluang diakomodasi masyarakat tani adalah pola Bukan Bank Bukan Koperasi (B3K). Faktor kritis dalam pengembangan LKM Sektor pertanian terletak pada aspek sumberdaya manusia pengelola LKM, legalitas kelembagaan, persepsi dan apresiasi petani/nasabah, dan dukungan seed capital. Perspektif pengembangan LKM akan sangat tergantung pada kemampuan LKM memaksimalkan kekuatan dan peluang serta meminimalkan unsur kelemahan dan menekan ancaman yang muncul.
B. Saran
Untuk dapat mengoptimalkan LKM sebagai intrumen kebijakan pemerintah prakarsapenumbuhan dan pengembangan LKM perludilakukan secara partisipatif, mengakomodatif karakteristik masyarakat tani serta diikuti dengan penyiapan SDM pengelola LKM yangkapabel. Langkah strategis untuk memprakarsai pembentukan dan pengembangan LKM selain harus didasarkan pada kondisi wilayah setempat juga mempertimbangkan adanya faktor kritis pengembangan LKM. Bagi wilayah yang sudah ada LKM tetapi akses petani masih rendah, langkah strategis yang perlu dilakukan adalah mengoptimalkan “perceived value”
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 2007. Kebijakan dan Strategi Na- sional untuk Pengembangan Keuangan
Mikro. http://www.profi.or.id/ind/
Budiantoro. S. 2003. RUU Lembaga Keuangan Mikro: Jangan Jauhkan Lembaga Keuangan
Dari Masyarakat. Jurnal Ekonomi Rakyat. Artikel Th II. No 8.
www.ekonomirakyat.org
Djoko Retnadi. 2003. Kunci Sukses Lembaga Keuangan Mikro, Pahami Karakteristik
Orang Kecil. Harian Kompas. Rabu, 13 Agustus 2003
Martowijoyo, S., 2002. Dampak Pemberlakuan Sistem Bank Perkreditan Rakyat Terhadap Kinerja Lembaga Perdesaan. Artikel - Th. I - No. 5. Jurnal Ekonomi Rakyat. www.ekonomirakyat.org
Sumodiningrat, G. 2003. Peranan Lembaga Keuangan Mikro Dalam Menanggulangi Kemiskinan Terkait dengan Kebijakan Otonomi Daerah. Artikel Th II No1. Jurnal Ekonomi Pertanian. www.ekonomirakyat.go.id.
Syukur , M. 2002. Analisis Keberlanjutan dan Perilaku Ekonomi Peserta Skim Kredit
Rumah Tangga Miskin. Disertasi. Program Pasca Sarjana. IPB.
Syukur, M., 2006. Membangun Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Pertanian yang Berkelanjutan: Sebuah Pengalaman Lapang. Warta Prima Tani.Volume 1 Nomor 1. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.
Wijono, WW., 2005. Pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro Sebagai Salah Satu Pilar Sistem Keuangan Nasional: Upaya Kongkrit Memutus Mata Rantai Kemiskinan. Kajian Ekonomi dan Keuangan, Edisi Khusus. http://www.fiskal. depkeu. go.id/bkf/kajian/ wiloejo1.pdf.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar